Melihat Dari Dekat Kondisi Korban Gempa Tsunami Di Nias

Reporter : Robby Effendi, Nias

*Bayi Umur 1 Bulan Selamat, Nyangkut Di Atap

Lebih dari 65 orang tewas dan 70 orang lainnya masih dinyatakan hilang, akibat gempa dan gelombang tsunami yang juga melanda kawasan Nias. 2 kecamatan yakni Mandrehe dan Sirombu merupakan kawasan yang paling parah ini berjarak 120 km sebelah barat dari Gunung Sitoli dan berhadapan langsung dengan lautan lepas. Apa cerita pengungsi yang selamat dari bencana yang telah merengut ribuan nyawa ini ?

Tentunya para pengungsi menyimpan cerita sedih dan pilu. Kejadiannya begitu cepat dan tanpa diduga akan mengakibatkan kerusakan sedemikian parah. Ada yang kehilangan sanak famili, ayah dan ibu maupun ada satu keluarga yang hilang hingga belum diketahui nasibnya.



Hanya saja, kejadian yang cukup mengingatkan kita akan kebesaran yang kuasa juga tersisa disana. Adalah Jefri, bayi berumur 1 bulan yang ditemukan masih hidup tepat diatas atap rumahnya yang sudah ambruk di desa Honulu Kecamatan Mendrahe. Hanya saja Jefri harus merelakan diri untuk menjadi anak yatim. Ibu yang mendekapnya erat-erat saat badai dan banjir itu datang, belum diketahui nasibnya. Kecil kemungkinan sang Ibu ditemukan masih hidup. Apalagi para tetangga yang berada di sekitar rumah sudah ditemukan menjadi mayat. Bahkan rumah-rumah di sekitar juga kondisinya rusak berat dan rata dengan tanah. Untungnya sang Ayah masih bisa selamat, namun hingga kini sang Ayah pun belum bertemu dengan anaknya yang selamat itu. Karena dikabarkan ketika terjadi bencana sang Ayah sedang berada di Pulau Hinako, satu pulau di gugusan kepulauan Nias yang biasa ditempuh 2 jam dengan menggunakan kapal. Kini Jefri berkumpul di Posko Penampungan di Gereja ONKP Kecamatan Mandrehe, 120 Km sebelah Barat dari Gunung Sitoli.



Jefri, sendiri ditemukan oleh para sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) bersama masyarakat. Dewi salah seorang sukarelawan PMI bercerita kepada koran ini bahwa kejadian ini sungguh merupakan kebesaran Tuhan. Jefri persis ditemukan diatas atap rumahnya yang sudah rata dengan tanah. Bayi laki-laki ini saat ditemukan hanya dilapisi dengan kain seadanya dan sudah lembab. Kondisinya saat ditemukan juga sangat menghawatirkan, membiru dan hampir kaku menahan dingin. Dan petugas PMI bersama masyarakat segera mengevakuasinya ke Posko.



Wartawan koran ini yang ikut kembali menyusuri bekas rumah Jefri di desa Hunulu Kecamatan Mendrehe bersama para sukarelawan PMI Cabang Pematang Siantar dan Cabang Nias yang melakukan tugas rutin dengan menyisir garis pantai barat itu menyaksikan betapa dahsyatnya gelombang Tsunami itu bila dilihat dari bekas-bekas yang ada. Bayangkan saja, rumah sang bayi yang selamat itu dengan bibir pantai berjarak 2 km. Dan semua yang ada di dalam radius 2000 meter dari bibir pantai hancur disapu gelombang. Makanya Iwan Damanik Sekretaris PMI Siantar mengatakan tidak ada mayat yang ditemukan di tepi pantai. Ia bilang rata-rata mayat yang ditemukan terlempar sejauh 2 hingga 3 kilometer dari bibir pantai. Jadi tidak ada kemungkinan korban yang tewas itu terseret ke dalam laut.



Hal ini dikuatkan pula oleh Okto Daely (40) yang rumahnya berada 100 meter dari bibir pantai. Ia bercerita dalam bahasa Nias. Dan untungnya James Gulo anggota PMI Cabang Nias bersedia menceritakannya kepada koran ini. Daely bilang rentang waktu antara gempa dan gelombang Tsunami itu ada hampir 1 jam. Maksudnya terjadi dulu gempa dan baru menyusul gelombang badai. Daely mengisahkan hampir 45 menit berselang gempa, air di laut itu surut hingga sejauh 500 meter. Ia menyebutkan akibat air surut itu banyak menyisakan ikan-ikan di sepanjang bibir pantai itu dan beberapa orang penduduk pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menangkapinya. Hanya saja kesenangan itu tak berlangsung lama. Daely menceritakan bahwa ada 3 gelombang besar pertama yang saling susul menyusul menghantam bibir pantai. Di saat inilah banyak penduduk yang terlempar ke arah daratan, bukan terseret arus. Lantas kenapa Okto Daely bersama 1 istri dan 1 anaknya selamat? Mereka berlindung dengan cara memanjat pohon kelapa. Ia menceritakan sewaktu ombak besar datang dari arah kejauhan. Ia dan keluarganya berlari menjauhi bibir pantai dan memilih batang pohon kelapa tertinggi yang ada di kebun mereka. Mereka pun selamat. Namun tidak dengan beberapa orang tetangga mereka. Mereka ikut tersapu terbawa gelombang hingga jauh dari bibir pantai dan ditemukan tewas. Lebih dari 50 mayat ditemukan di Kecamatan Mandrehe. Dan mereka dimakamkan di kuburan massal persis di depan Paraki Salib Suci Nias Barat. Satu-satunya gereja katolik, tempat mereka biasa beribadah.

- Robby Effendi, Nias

Komentar

Postingan populer dari blog ini

amoeba Operating System

GPRS Gratis via port 554 squid

SWIFT Code for Indonesian Banks